Selasa, 10 Mei 2016

Salam dari MABA

Tanggal 9 Mei 2016, hari yang menggemparkan seluruh siswa SMA kelas tiga. Entah bagaimanapun, tanggal itu benar-benar bersejarah bagi saya. Sekejap membawa kenangan setahun silam. Ya, saya tahu bagaimana rasanya menunggu detik-detik pengumuman yang tiba-tiba membuat sekujur tubuh kaku dan tangan tak henti-hentinya mengepal karena kedinginan walaupun cuaca sedang menyengat siang itu. Dengan berdebar kubuka situs snmptn.ac.id dan kumasukkan nomor pendaftaran serta tanggal lahir saya. Alhamdulillah semuanya berjalan mulus, saya diterima di salah satu kampus terbaik bangsa, bernama Institut Teknologi Bandung. Merupakan suatu anugerah dan penghargaan yang sangat besar bagi saya untuk bergabung dengan manusia-manusia jenius dari seluruh penjuru kota maupun desa yang disatukan dalam sebuah kampus Ganesha. Tak henti-hentinya saya mengucapkan syukur kepada Sang Maha Kuasa.

Namun, yang sedikit mengganjal adalah banyak orang menanyakan, "Mbak Malikah kok nggak ambil kedokteran?", "Mal teknik keras lho", "Mbak tadi ketrima dimana? FTI? Itu apa? Oh Teknik Industri ya?", "Bandung jauh lho Mal nanti kamu pasti nangis terus", "Di sana pergaulannya serem padahal", "Masakannya pedes-pedes nggak ada yang manis nanti kamu nggak kerasan lho", "Kok cewek masuk teknik? Mau kerja di pabrik/perusahaan? Anaknya nggak keurus lho, Mal." Pokoknya macam-macam komentar dari orang-orang ketika tahu saya diterima di  FTI ITB. Baik, saya akan menjelaskan satu demi satu.

Yang pertama, FTI itu Fakultas Teknologi Industri, hehe, bukan Teknik Industri. Nah jadi untuk yang belum tahu infonya, di ITB ini ada sistem TPB alias Tahap Persiapan Bersama yang masih dibagi per fakultas, bukan per jurusan. Nah kalau saya masuknya di Fakultas Teknologi Industri, dan di semester 3 nanti mulai dibagi menjadi 6 jurusan yaitu : Teknik Kimia, Teknik Fisika, Teknik Industri, Manajemen Rekayasa Industri, Bioenergi dan Kemurgi, serta Teknik Pangan. Di fakultas ini, saya bertemu dengan segala macam manusia. Yang hobinya tidur di kelas tapi nilainya sempurna, ada. Yang tiap hari ngambis ke perpus, ada. Yang sukanya jualan makanan di kelas, ada. Yang nggak pernah mandi tiap kuliah, ada. Yang pinter tapi anti sosial, ada. Yang sukanya duduk di deret paling depan, ada. Yang tiap hari telat, juga ada. Semuanya ada di sini. Saya sangat bersyukur bisa berteman dengan mereka. Saya bersyukur menjadi bagian dari angkatan FTI 2015! :)

Kedua, alasan saya untuk tidak masuk kedokteran. Dulu sempat bimbang saat mengisi entri perkuliahan. Sejak SMA kelas X, Ayah saya selalu berpesan, "Dek, kamu itu cocoknya di kedokteran karna kamu mudah berkomunikasi dengan orang-orang, kamu suka anak kecil, dan kamu nggak tegaan...". Tapi, saya tidak menyukai pelajaran biologi. Apalagi saya takut sekali dengan darah, bisa gemetaran saya lihatnya, Akhirnya semua keluh kesah itu saya ceritakan ke guru BK. Beliau bilang "Ayah kamu benar. Tapi kalau kamu merasa itu bukan jalanmu, cari sampai ketemu. Kamu suka di teknik? Tidak masalah. Asal kamu suka dan merasa nyaman, kenapa tidak?". Saya sempat mencoba untuk menyukai pelajaran biologi dan mencoba berani saat melihat darah dan segala macam hal yang menjijikkan di dunia kedokteran. Namun, semuanya sia-sia. Saya merasa tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang dokter. Akhirnya saya kukuh dengan pilihan saya sejak kelas dua SMP dulu, yaitu Teknik Kimia. Aamiin. Oh iya, saat mengisi entri di SNMPTN dulu saya menangis sejadi-jadinya siang serta malam. Galau tidak karuan antara mengikuti kata orang tua atau kata hati. Namun alhamdulillah setelah shalat istikharah saya mendapatkan titik terang dan sampailah saya di Institut ini.

Oh iya karena banyak teman-teman serta adek kelas yang menanyakan perihal perkuliahan di sini, saya ingin membeberkan semuanya, Ya, kuliah di perteknikan memang keras karena kami dituntut untuk memberikan pemikiran terbaik yang kami punya. Selain itu karena memang kebanyakan lulusan dari mahasiswa ITB bekerja di lapangan seperti perusahaan, pabrik, dan lain-lain. Intinya terjun langsung di kehidupan yang cukup keras nantinya. Tapi di sinilah saya belajar banyak hal. Saya mulai keluar dari comfort zone saya untuk terbiasa dengan hal-hal perkuliahan yang sangat jauh berbeda ketimbang dunia SMA. Saya belajar menjadi mahasiswa, seorang siswa dengan segala ke"maha"annya. Seorang siswa yang dituntut lebih. Seorang siswa yang sudah mulai ikut campur urusan bangsa. Seorang siswa yang mulai dipaksa dewasa pemikirannya serta lebih besar jiwa kemandiriannya. Tidak mudah, namun bukan berarti tidak bisa. Semuanya membutuhkan proses yang tak begitu saja berhasil. Di sini saya mulai memahami arti kegagalan yang justru memacu semangat dan gairah saya untuk memperbaikinya. Dan di sini saya mulai merasa ilmu yang saya punya sangat sangat sangat sedikit. Saya harus banyak belajar dan membaca untuk memperoleh pengetahuan dari manapun, siapapun, kapanpun, dan dimanapun.

Kalau masalah prospek kerja, FTI ini sangat banyak peluangnya karena sangat banyak inovasi yang lahir dari pemikiran mahasiswa mahasiswinya. Di Teknik Kimia, kita akan belajar tentang proses dari bahan mentah menjadi sesuatu yang bernilai namun tetap merujuk pada keekonomisannya. Prospeknya sangat luas, bisa bekerja di perusahaan minyak, makanan, kosmetik, mineral, bahan bakar, tekstil, farmasi, dan masih banyak lagi. Di Teknik Fisika, kita akan belajar tentang pengaplikasian ilmu fisika yang telah kita pelajari. Misalnya memanfaatkan sinyal gelombang otak sebagai pengatur gerak kursi roda, pemanfaatan sinyal laser, pengaturan lighting, pembuatan angklung yang digerakkan oleh robot, instrumentasi, otomasi, dan lain-lain. Di Teknik Industri, mahasiswa akan belajar untuk mengintegrasi manusia serta mesin secara holistik. Dan di Manajemen Rekayasa Industri, mahasiswa akan mempelajari tentang desain dan marketing. Intinya semua jurusan di FTI saling berhubungan satu sama lain dan akan saling membutuhkan di dunia kerja nantinya.

Kalau saya sendiri sih pengennya jadi dosen, biar anak sama suaminya keurus, hehe. Kalau jadi wanita kantoran atau bekerja di perusahaan takutnya berangkat pagi pulang malam. Diam-diam saya ini mengamati teman-teman SMA saya yang latar belakang orang tuanya berbeda. Tak sedikit yang kurang perhatian karena memang hanya sedikit waktu yang ada bagi mereka untuk bertemu orang tuanya setiap hari. Saya tidak ingin menjadi ibu yang seperti itu. Anak adalah titipan, jadi harus dijaga dan diasuh dengan sebaik-baiknya.

Nah kalau masalah kuliahnya di Bandung yang katanya jauh, pergaulannya nggak bener, apa-apa mahal, dan segala hal yang dikhawatirkan, eits jangan salah. Selama dua semester saya kuliah, benar-benar merasa nyaman hidup di kota kembang yang lebih dingin dibandingkan di Solo ataupun Gemolong. Bahkan masyarakat di sini ternyata sangat ramah. Ketika saya keluar dari kos dan menuju ke kampus, saya selalu disapa dengan senyum oleh ibu-ibu yang sedang berbelanja di tukang sayur keliling, ataupun sedang menggendong dan menyuapi makanan untuk bayi kecilnya. Pemandangan tiap pagi juga diisi dengan seorang ayah yang memboncengkan anaknya ke sekolah. Semua itu mengembalikan memori saya tentang kehidupan masa kecil. Terkadang saya meneteskan air mata yang dengan cepat saya usap dan dengan tetap tegar berjalan riang menuju kampus.

Di kampus ini, saya juga mengikuti pengabdian desa sehingga saya bisa terjun langsung ke masyarakat. Misalnya, pada tanggal 5 Maret lalu, Gamifti (Keluarga Mahasiswa Islam FTI) mengadakan kunjungan ke SLB Cicendo. Di sana, kami bertemu dengan anak-anak yang mengalami disabilitas, yaitu tunarungu. Walaupun begitu, mereka tetap tersenyum dan membuat kami semua dengan penuh haru mensyukuri segala hal yang telah kami punya. Saat ditanya cita-citanya jadi apa, mereka menulis "Saya ingin menjadi orang sukses", "Saya ingin membahagiakan orang-tua", "Saya ingin bekerja untuk keluarga saya", dan masih banyak lagi. Saya jadi ingat salah satu ayat yang diulang-ulang di Surah Ar-Rahman : "Maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?". Lalu pada tanggal 10 April, tim Mozaik melakukan pengabdian desa di salah satu desa Sekejolang Ciburial Cimenyan, Bandung. Di sana kami berkenalan dengan warga sekitar serta bermain dengan anak-anak kecil. Alhamdulillah.

Oh iya ada satu hal lagi yang saya suka dari ITB. Saya tetap masih bisa menggeluti hobi saya, karena kampus ini menyediakan piano di Gedung SR, dan juga di Kresna (depan Gedung SBM). Kalau lagi jenuh saya biasanya mampir buat main piano di Gedung SR, karena suasananya sangat sunyi. 

Mm kalau ngomongin soal makanan, makanan di Bandung enak-enak lho ternyata. Dan harganya masih cukup bersahabat dengan kondisi kantong mahasiswa. Kalau makanan favorit saya tetep jatuh pada kuro-kuro, mi aceh, serta bubur kacang ijo yang tiap pagi selalu memanggil pelanggannya dengan memukul-mukul mangkok bergambar ayam jago. Kalau sudah bosan dan malas keluar kosan, saya mencoba resep masakan di tumblr. Ya lumayan lah, saya sudah bisa memasak martabak manis, kwetiaw, sup, cilok, dan banyak lagi. Hitung-hitung sekalian pemantasan diri *eh*.

Nah, ternyata merantau di kota orang tak seburuk yang dibayangkan, kan? Tergantung diri kita masing-masing. Kalau kita masih bisa bersyukur dan mengambil sisi baiknya, insya Allah segalanya akan dilancarkan oleh Allah. Aamiin. Dan yang paling penting jadilah dewasa, dimanapun kamu berada. Walaupun jauh dari orang tua, kita tetap harus selalu mengawasi diri kita sendiri. Dan oh iya, jangan lupa telfon orang tua secara berkala ya buat kamu yang sedang merantau! Rindu, pasti :)

Salam rindu,
Maba ITB 2015,
Malikah.