Sabtu, 08 September 2018

Pejuang Lima Waktu

"Allahu Akbar Allahu Akbar..."

Lantunan adzan membangunkanku dari tidur panjang sepanjang malam, bersamaan dengan dering alarm yang menyela gemericik gerimis air di Bandung pagi itu. Kubuka mata perlahan. Kulihat sekeliling kamar yang cukup gelap karena hanya diterangi oleh sinar lampu tidur berwarna kuning. Sesekali aku memejamkan mata lagi. Dingin, seolah seluruh anggota tubuh ini telah membeku, sehingga mereka menolak untuk bergerak. Bahkan untuk membuka selimut saja terasa berat, apalagi mengangkat seonggok tubuh ini untuk mengambil air wudhu dan menunaikan kewajiban pagi itu.

"5 menit lagi ya Mal", kataku pada diri sendiri, sambil kemudian memejamkan mata kembali.

Hal ini berlangsung tidak hanya pada waktu Subuh, namun juga di waktu-waktu yang lain.

Misalnya, pada suatu sore di hari Rabu. Jadwal praktikum hari itu memang tidak tanggung-tanggung. Mulai jam 9 pagi, dan baru berakhir pukul 5 sore. Setelah semua run percobaan selesai, aku dengan tergesa mengemasi barang-barang, dan segera berlari menuju mushola di lantai 3. Antrian wudhu berderet panjang. Bahkan belasan menit setelah salam, adzan Maghrib mulai berkumandang. Astaghfirullahal 'adzim. 

Terkadang, kegiatan rapat di kampus pun menabrak waktu Isya' dan baru selesai tengah malam, sehingga dengan mudah aku memaafkan diri sendiri. Lagipula rentang waktu Isya' cukup panjang, begitu pikirku waktu itu.

Namun, tetap saja aku gelisah. Sudah shalat ditunda-tunda, dijalankan di akhir waktu, bahkan seringkali dilaksanakan munfarid. Terlebih anak kos sepertiku, rasanya sudah biasa shalat sendiri-sendiri, di kamar masing-masing. Padahal shalat di awal waktu dan berjamaah sangat besar keutamaannya.

Kata orang bijak, sampaikan gelisahmu bukan pada manusia, tapi kepada Allah Yang Maha Mendengar. Sampaikan keluh kesahmu pada-Nya, karena itulah jalan keluar terbaik yang pernah ada. Karena aku tidak pandai berdoa menggunakan bahasa arab, kusampaikan cerita dan panjatan doaku dengan bahasa lugas dan apa adanya.

Hingga suatu hari yang mendung, sekelompok teman kos, bernama Kak Dita, kak Laili, dan kak Kamila, tiba-tiba mengatakan suatu hal terkait kegelisahanku.

"Mal, kalau mau shalat jamaah, langsung ke kamar Kak Dita aja ya."

Ini benar-benar jawaban doa yang tidak pernah kusangka-sangka sebelumnya. MasyaaAllah.

"Oke! Nanti kita gantian jadi imam ya, Kak!", kataku mantap dan bersemangat.

Ya, itulah permulaan cerita kami. Paling tidak, sejak saat itu, aku bisa shalat Subuh, Maghrib, dan Isya' secara berjamaah, meskipun terkadang kami masih beberapa kali menundanya.

Berbagai alasan seperti: "10 menit lagi ya, Mal! Aku masih ngerjain tugas, nanggung nih", "Kak, aku makan bentar ya hehe", atau "Maafin baru bangun". Saat itu, kami masih bisa memaklumi.

Namun, ternyata kejutan Allah tidak berakhir di situ. Seseorang di lantai 1, bernama Kak Hilma, menghampiriku di Minggu pagi setelah aku selesai berbelanja sayur mayur dan buah-buahan di Pasar Simpang Dago.

"Malikah, aku sering denger kalian shalat berjama'ah. Ajakin aku juga dong, aku kan juga pengen dapet pahala banyak kayak kalian".

Aku senang sekali mendengarnya. Namun, kamar Kak Dita hanya cukup untuk membuat satu shaf sebanyak 4 orang, karena terhalang oleh lemari dan kasur yang cukup besar. Tidak ada ruang lagi di kamar ini.

Setelah cukup lama berpikir dan mengeksplor ruangan kosan yang sekiranya bisa dijadikan mushola, akhirnya kami mendapati ruangan TV yang kira-kira cukup untuk melaksanakan shalat sebanyak 8 orang.

Suara imam shalat terdengar hingga seluruh penjuru kosan. Tak heran, terkadang satu hingga tiga orang teman lainnya tiba-tiba ikut bergabung. Alhamdulillah jama'ah semakin ramai setiap harinya. 
Setelah berbincang satu sama lain, ternyata keinginan untuk shalat berjama'ah sudah ada sejak lama. Namun, karena tidak ada yang memulai sebelumnya, jadilah keinginan hanya menjadi keinginan belaka selama-lamanya, sampai akhirnya kami dipertemukan di ruangan mungil ini, dalam rangka merealisasi keinginan yang tadinya terpendam di lubuk hati terdalam.

Sama seperti sebelumnya, kami masih belum istiqamah. Masih perlu menghubungi via whatsapp supaya shalat berjamaah bisa dilaksanakan. Pertanyaan seperti: Ada yang mau shalat jamaah?; menjadi pertanyaan rutin kami setiap harinya. Jika tidak ada jawaban, maka dengan terpaksa kulaksanakan shalat sendirian.

Aku percaya, istiqamah itu butuh proses. Dan benar saja, shalat jama'ah yang tadinya masih terkadang ada dan terkadang tidak, lambat laun makin meyakinkan. Hanya dengan gaungan adzan di udara, tanpa harus memanggil-manggil di grup kos, dengan sendirinya masing-masing kami melangkahkan kaki menuju mushola. Bahkan saat itu, ada seorang volunteer yang menawarkan diri untuk menjadi relawan pejuang ketukan pintu di sepertiga malam, bagi mereka yang ingin melaksanakan shalat sunnah tahajjud. Terlebih, setiap Senin dan Kamis, ada ketukan pintu lebih pagi, bagi mereka yang ingin bergabung makan sahur bersama. Suara air mendidih serta gesekan wajan menjadi suasana dapur yang khas setiap Senin Kamis.

"Eh, gimana kalau yang jadi imam yang terakhir dateng ke mushola?", kata seseorang di tengah-tengah suasana sahur bersama.

"Boleh tuh, biar nggak pada nunda-nunda juga kan..."

Dan ya, kami mencoba metode ini. Awalnya cukup gagal, karena diam-diam kami saling mengintip dari balik jendela setiap waktu shalat datang.

"Wah kayaknya aku terakhir nih. Yaudah deh shalat sendirian aja di kamar, daripada jadi imam", begitu pemikiran masing-masing dari kami. Rupanya hukuman menjadi imam sukses menakut-nakuti.

Alhasil, satu hingga dua orang yang biasanya ada, tiba-tiba tiada kemunculannya di mushola. Namun ini tidak berlangsung lama. Kami mulai paham, bahwa urgensi shalat berjamaah cukup besar. Menjadi imam pun bukan suatu yang harus dipermasalahkan, justru di situlah kami belajar. Toh nantinya, jika suatu saat kita sudah berkeluarga, kita harus siap kapanpun menjadi imam shalat bagi anak-anak di kala suami tercinta harus menunaikannya di masjid.

Demi menghindari hukuman menjadi imam shalat, banyak yang memilih untuk berdiam diri di mushola di waktu pergantian Maghrib ke Isya'. Dan bahkan lucunya, ketika muadzin baru mengetuk microfon untuk mengetes suaranya, langkah kaki menuju mushola sudah ramai terdengar. Subuh yang tadinya tenang, kini menjadi suatu pagi yang ramai. Pun pada waktu Dzuhur hingga Isya'.

Tak jarang kami mengobrol singkat selepas shalat. Lagipula, salah satu dari kami ada seorang alumni Psikologi Unpad, sehingga curahan hati kami tersampaikan dan ditemukan solusinya. Kadang-kadang, obrolan kami disponsori oleh penghuni kos yang baru pulang dari kampung halaman dan membawa pempek asli Palembang, atau ia yang masaknya berlebih, sehingga butuh bantuan untuk menghabiskan. Alhamdulilah, rezeki Allah datang dari arah yang tidak disangka-sangka.

Yang lebih mengejutkan, ruangan TV kadang tidak mampu lagi menampung kami. Kami terpaksa ekspansi wilayah ke ruang tamu supaya semua orang bisa mendapatkan pahala jama'ah ini. Bahkan, ketika aku berkenalan dengan kakak-kakak S2 di organisasi Keluarga Mahasiswa Islam (KAMIL) Pascasarjana ITB, banyak yang sudah mengenal kosan ini.

"Oh, kos Rambutan, yang ada kegiatan shalat berjama'ahnya itu kan?"

"Oh, kosan yang penghuninya shalihah itu ya"

Wkwk, ada-ada saja.

Kalau kata Teh Dali yang merupakan lulusan Psikologi Unpad dan sudah menjadi penghuni tetap kosan sejak beliau kuliah dulu, "Kosan ini berada pada puncak kejayaan Islam. Dulu tuh, ruangan TV biasanya dipakai buat nonton film sampai malem, bahkan kadang-kadang ada yang ngajak cowo ke sini sampai larut. Pokoknya berisik dan nggak banget deh."

Alhamdulillah.

Semua dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana, hingga akhirnya berproses menjadi besar. Sebagai calon lulusan Teknik Kimia yang notabene akan menjadi Insinyur Proses, aku jadi makin yakin bahwa tidak ada yang instan di dunia ini. Bahkan, mie instan masih perlu diproses untuk kemudian dikonsumsi. Sekiranya saat ini kamu berada pada titik, "Ih aku juga pengen shalat berjama'ah", coba deh mulai dari lingkaran-lingkaran kecil. Bismillah, insyaaAllah lingkaran itu akan semakin besar dan menjadi ukhuwah. Semangat!

Minggu, 02 September 2018

Ngafal Quran, Yuk!

Semburat cahaya jingga menembus kaca jendela kamar yang menghadap ke arah tenggara. Aku masih pada posisi yang sama, membolak balik mushaf warna ungu muda sambil sesekali memalingkan pandangan ke langit-langit kamar sembari menyenderkan kepala yang terasa berat.

"Hmm...", ucapku pelan.

Selanjutnya mulutku kembali komat kamit, namun sesekali tertegun, dikarenakan beberapa bagian yang tadinya sudah bertengger di isi kelapa, tiba-tiba lupa, hilang entah kemana. Ah, rasanya selalu begitu. Terkadang, banyaknya terlupa mengakibatkan semangat menghafal ayat-ayat Allah menjadi pudar, dan menjadikan hati penuh keraguan.

Aku ingat betul, sekitar 8 tahun yang lalu, aku punya keinginan besar untuk menjadi hafidzah 30 juz. Namun sayang, keinginan hanyalah menjadi keinginan tanpa ikhtiar dan tawwakal. Aku tidak seberuntung teman-teman yang mengenyam sekolah Islam, atau bahkan menjadi anak pesantren yang notabene bisa 24 jam dalam sehari berinteraksi dengan Al-Quran. Sejak sekolah dasar hingga kuliah, aku selalu ditempatkan di sekolah negri, dan memang berorientasi pada nilai-nilai akademik. Rasanya tidak pernah ada urgensi untuk menghafal. Ibu berkata, "Nduk, asalkan kita rutin tilawah dan mengamalkan isinya, insyaaAllah itu sudah lebih dari cukup."

Suatu hari, seorang teman menawarkan suatu proyek kecil-kecilan. "Mal, ngafal Quran yuk! Nanti kamu setor ke aku, trus aku setor ke kamu. Impas kan? Nanti kubuatkan buku mutaba'ahnya ya, satu hari satu halaman. Kita harus setor tiap selepas Isya'. Tiap Jumat kita muraja'ah ulang hafalan-hafalan selama seminggu ini. Oke?"

Aku mengangguk mantap. Semangatku membara waktu itu. Rasanya energi positif dalam tubuh meningkat, bahkan melebihi ambang batas. Menit dan jam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat, kini beralih menjadi waktu yang rasanya akan terbuang sia-sia tanpa menghafal. Minggu pertama sukses!

Hingga akhirnya, keistiqamahan kami diuji dengan badai ujian, praktikum, seminar, hingga beberapa kali harus tumbang karna jam tidur yang semakin semrawut dan istirahat yang tidak pernah cukup. Tiap hari rasanya kantong mata tumbuh semakin besar dan menghitam. Hidup ini sungguh keji. Aku yang masih belasan tahun, mulai merasakan encok, pegal linu, atau keram kaki beberapa kali karna terlalu banyak jalan kaki di dalam kampus. Rasanya sudah cukup tua. Untung ada track lari Saraga yang selalu berhasil menyelamatkan masa muda dari penuaan dini ini.

Kuketuk pintunya. "Assalamu'alaykum Kak, hari ini mau setor nggak?", tanyaku pelan.

"Wa'alaykumussalam. Mal, nggak dulu ya. Aku besok mau ujian, lagian hari ini juga belum sempet ngafal nih", jawabnya singkat.

Target yang tadinya sehari satu halaman, kini mulai berkurang menjadi sehari setengah halaman, sehari seperempat halaman, sehari seayat, atau parahnya, sehari tanpa ayat. Miris. Susah betul ternyata istiqamah di sela-sela kuliah. Kami pun mulai terbiasa memaafkan diri untuk tidak saling setor, karna beban kuliah yang terasa semakin berat. Astaghfirullah.

Hingga akhirnya, teman lain menawarkan program sekolah tahfidz Quran atau yang dikenal dengan nama Dauroh Quran, untuk mengisi waktu selama liburan. Ada banyak pilihan, mulai dari Solo, Kendal, Kuningan, Depok, hingga Jakarta. Setelah menimbang beberapa hal, akhirnya aku memutuskan untuk mendaftar program menghafal 1 bulan di Kendal, yaitu di Yayasan Ahlul Quran Al-Islamy. Program yang dijalankan adalah mampu menghafal 15 juz dalam sebulan, atau dengan kata lain khatam dalam 2 bulan.

Jiwaku mantap. Sudah tidak sabar merasakan debut menjadi anak pesantren selama 19 tahun hidup di alam semesta. Terbayang bagaimana rasanya hati yang tentram dan sejuk karna dekat dengan Al-Quran. Terlebih dikelilingi oleh saudara shalihah yang semakin mendobrak semangat untuk mencintai ayat-ayat Allah. Senyumku lebar saat Ayah, Ibu, dan kedua kakakku mengantar hingga ma'had. Pun ketika mereka meninggalkanku dengan lambaian dari balik jendela mobil dan klakson tanda selamat tinggal, aku masih tersenyum lebar. Bahkan langkah kakiku menuju kamar meyakinkan dan sesekali berayun tanda kebahagiaan sudah di depan mata.

Aku bertemu dengan teman-teman dari seluruh penjuru, mulai dari Aceh, Bontang, Jogja, Semarang, Ngawi, hingga masyarakat lokal dari Kendal yang rumahnya hanya beberapa meter dari tempat kami menginap. Usianya pun beragam, mulai dari anak SD kelas 3, hingga seorang Ibu yang kira-kira sudah berkepala empat. 

Hari pertama kami mulai dengan perkenalan diri. Awalnya biasa saja, hingga tiba pada pertanyaan, "Malikah dari pesantren mana?".

"Hehe, belum pernah pesantren sih", jawabku sedikit canggung.

"Oh, tapi udah punya hafalan ya?"

"Umm sedikit"

"Ah aku juga sedikit kok"

"Oh ya? Berapa?"

"Baru 20 juz, hehe", jawabnya singkat dan polos.

Deg. Aku tertegun. 20 juz itu sedikit ya ternyata. Aku mengira definisi sedikit adalah baru 5 juz, 4 juz, 3 juz, 2 juz, atau paling tidak juz amma. Dan keterkejutanku makin bertambah, karna ternyata pertanyaan "dari pesantren mana?" dan "hafal berapa juz?" sudah menjadi pertanyaan wajib yang pasti akan terlontar. Seperti sudah template berkenalan. Dan rata-rata dari mereka mengucapkan bahwa hafalannya baru sedikit. Ya, sedikit, yaitu pada rentang 10-20 juz. Semangatku sedikit terkikis.

Kami tidak diperbolehkan untuk langsung menghafal. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dijalankan setiap peserta. Yang pertama adalah khatam tilawah Quran dalam 1 hari, dan yang kedua adalah menyetor terjemah Al-Baqarah dalam kurun waktu maksimal 4 hari. Untuk syarat pertama, tidak begitu ada masalah, karna kebetulan sekali, aku satu kamar dengan orang-orang ambisius yang pada akhirnya memaksaku untuk mengikuti flow semangat mereka. Di saat yang lain tidur siang atau berbincang sebentar, kami tidak sempat melakukannya. Kami terus tilawah dan alhamdulillah dapat selesai tepat waktu. Pun pada syarat kedua, kami bisa melaluinya dengan lancar dan sukses.

Setelahnya, kami diperbolehkan untuk mulai menghafal. Duhai, senangnya! Ini adalah waktu yang sudah kami tunggu-tunggu kedatangannya. Di dauroh ini, terdapat 5 kali halaqah, dengan durasi per halaqah adalah 2 jam, sehingga total dalam sehari adalah 10 jam menghafal Quran. Targetnya pun tak tanggung-tanggung, yaitu 1 hari menghafal 1/2 juz, atau sekitar 5 lembar mushaf.

Hari pertama menghafal, aku mulai merasakan gejolak dan kesulitan. Karena sebelumnya, belum pernah rasanya menghafal 1 halaman Quran selama 1 jam. Biasanya saja 1 halaman dihafal dalam waktu sehari, itu pun keistiqamahannya diragukan.

Di halaman pertama, bulir-bulir air mata mulai menggenang dan siap untuk terjun bebas ke pipi dan kemudian mulai membasahi kerudung serta mushaf. Mushaf yang tadinya kering, kini menjadi basah dan lembek, sehingga mudah robek di sana sini. Waktu 2 jam yang seharusnya digunakan untuk menyetorkan hafalan, sekarang hanya bisa kuisi dengan tangisan sendu dan jiwa yang ragu. Yuwaswisufii sudurinnas. Aku mulai menanyai hati, kenapa harus datang ke sini. Padahal aku bisa mengisi hari libur dengan hal-hal yang lebih menyenangkan bersama teman lama atau keluarga tercinta. Semangatku habis, tak bersisa.

Selama program hafalan, haram hukumnya menggunakan HP. Kami hanya diberikan kesempatan untuk bermain HP setiap hari Jumat, pukul 8 pagi hingga 3 sore.

Waktu itu hari Senin. Tangisku tak bisa dibendung. Aku ingin pulang. Kuketuk kamar ustadzah. "Afwan Ust, boleh nggak kalau saya pinjem HP, sebentar aja. Mau telfon Ibu sebentar", ucapku dengan mata yang bengkak cukup besar.

"Ini kan baru hari Senin. Tunggu hari Jumat ya", jawabnya singkat.

Aku terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa terucap. Yang ada hanyalah air mata yang semakin mengucur deras.

"Kenapa? Kesulitan menghafal ya?", tanya seorang ustadzah.

Aku masih bungkam. Air mata dan sesenggukan pelan rasanya sudah menjawab semuanya, tanpa harus mengucapkan sepatah kata.

Beliau memberikan beberapa nasehat menghafal Quran, dan menceritakan bahwa beliau pun pernah mengalami hal-hal seperti ini. Ini adalah tahap awal, batu loncatan terbaik menuju menghafal dalam makna harfiah. Jangan ragu untuk menangis, karena menangis itu melembutkan hati. Mungkin saja kesulitan itu datang karena ada dosa yang belum termaafkan, kepada Ibu, Ayah, saudara, atau teman. Bisa juga karena selama ini Al-Quran belum menjadi prioritas utama, terkalahkan oleh hal-hal duniawi, misalnya gadget. Atau bisa juga disebabkan oleh terlalu sayangnya Allah terhadap kita, sehingga Allah turunkan kesulitan dalam menghafal supaya kita semakin intensif berinteraksi dengan Al-Quran. Yakan? Dan juga supaya kita semakin rajin istighfar untuk mencurigai diri yang sudah barang tentu terlampau sering menyumbang dosa di catatan amalan harian. Na'udzubillahimindzalik.

Tangisku agak mereda. Baterai semangat mulai terisi sedikit demi sedikit. Jika ditunjukkan prosentasenya, mungkin sudah sekitar 25%. Alhamdulillah. Aku segera pamit dari ruangan beliau.

Pintaku selalu sama. Kuatkanlah dan mudahkanlah. Beberapa hari kemudian, Allah menjawab doa bagian "kuatkanlah" ini. Berdatangan beberapa peserta dauroh yang baru. Kami berkenalan singkat. Dan qadarullah, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang dengan latar belakang yang sama denganku. Yaitu tidak pernah mengenyam sekolah Islam, dan hafalan yang masih sedikit. Tentu saja sedikit dalam makna sesungguhnya. Semangatku mulai bertambah lagi. Terkadang, dipertemukan dengan orang-orang seperjuangan memang akan menguatkan jiwa. Tidak perlu merasa diri seperti remah-remah lagi. PD aja!

Untuk doa bagian "mudahkanlah", Allah pun tak lama-lama mengabulkannya. Seorang ustadzah tiba-tiba menghampiriku sambil menyodorkan Al-Quran terjemah per kata miliknya. "InsyaaAllah ini bisa membantu. Dulu ustadzah pakai ini juga".

Sedangkan ustadzah yang lain menuturkan, "Kalau Malikah kesulitan, boleh setor satu kali duduk setengah halaman aja, nggak harus satu halaman. Bismillah dikit-dikit, insyaaAllah lama-lama terbiasa kok". 

"Oh ya, kalau misal masih kesulitan, boleh juga memisahkan diri ketika menghafal. Pasti nggak fokus ya denger yang lain ngafalin juga", tambahnya kemudian.

Benar saja, aku selalu menghafal di tepi kolam lele, yang letaknya sekitar 8 meter dari teman-teman lain. Suasananya syahdu, sehingga lebih mudah untuk mengaitkan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain.

Dan ya, alhamdulillah semuanya dimudahkan hingga hari terakhir. Tangis berubah menjadi senyum dan canda tawa. Bahkan, di sana kami belajar memanah setiap sore, berdiskusi singkat terkait Islam, serta berbagi cerita masing-masing di sela-sela sebelum tidur. Banyak ilmu dan pengalaman yang aku dapat dari mereka. Rasanya sudah seperti keluarga sendiri.

MasyaaAllah. Allah memang teramat baik ya!

Sabtu, 4 Agustus 2018, aku pamit pulang. Ketika Ayah dan Ibu sampai di gerbang ma'had, aku langsung memeluknya erat, seperti anak kecil yang sudah berbulan-bulan tidak bertemu orang tuanya. Seketika aku menangis sesenggukan. Mereka tertawa. Ah, aku tidak pernah serindu ini sebelumnya.

Pulang, bukan berarti berhenti untuk menghafal. Ini adalah awal dari semuanya. Justru di sinilah tantangan terberatnya. Muraja'ah!

Seorang teman berpesan, "Karena menghafal Quran adalah pilihan, maka muraja'ah adalah konsekuensi seumur hidup"

Yuk ngafal!

Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

"Bacalah Al Quran, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa'at bagi shahibul Quran" (Hadist Riwayat Muslim)