"Hmm...", ucapku pelan.
Selanjutnya mulutku kembali komat kamit, namun sesekali tertegun, dikarenakan beberapa bagian yang tadinya sudah bertengger di isi kelapa, tiba-tiba lupa, hilang entah kemana. Ah, rasanya selalu begitu. Terkadang, banyaknya terlupa mengakibatkan semangat menghafal ayat-ayat Allah menjadi pudar, dan menjadikan hati penuh keraguan.
Aku ingat betul, sekitar 8 tahun yang lalu, aku punya keinginan besar untuk menjadi hafidzah 30 juz. Namun sayang, keinginan hanyalah menjadi keinginan tanpa ikhtiar dan tawwakal. Aku tidak seberuntung teman-teman yang mengenyam sekolah Islam, atau bahkan menjadi anak pesantren yang notabene bisa 24 jam dalam sehari berinteraksi dengan Al-Quran. Sejak sekolah dasar hingga kuliah, aku selalu ditempatkan di sekolah negri, dan memang berorientasi pada nilai-nilai akademik. Rasanya tidak pernah ada urgensi untuk menghafal. Ibu berkata, "Nduk, asalkan kita rutin tilawah dan mengamalkan isinya, insyaaAllah itu sudah lebih dari cukup."
Suatu hari, seorang teman menawarkan suatu proyek kecil-kecilan. "Mal, ngafal Quran yuk! Nanti kamu setor ke aku, trus aku setor ke kamu. Impas kan? Nanti kubuatkan buku mutaba'ahnya ya, satu hari satu halaman. Kita harus setor tiap selepas Isya'. Tiap Jumat kita muraja'ah ulang hafalan-hafalan selama seminggu ini. Oke?"
Aku mengangguk mantap. Semangatku membara waktu itu. Rasanya energi positif dalam tubuh meningkat, bahkan melebihi ambang batas. Menit dan jam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat, kini beralih menjadi waktu yang rasanya akan terbuang sia-sia tanpa menghafal. Minggu pertama sukses!
Hingga akhirnya, keistiqamahan kami diuji dengan badai ujian, praktikum, seminar, hingga beberapa kali harus tumbang karna jam tidur yang semakin semrawut dan istirahat yang tidak pernah cukup. Tiap hari rasanya kantong mata tumbuh semakin besar dan menghitam. Hidup ini sungguh keji. Aku yang masih belasan tahun, mulai merasakan encok, pegal linu, atau keram kaki beberapa kali karna terlalu banyak jalan kaki di dalam kampus. Rasanya sudah cukup tua. Untung ada track lari Saraga yang selalu berhasil menyelamatkan masa muda dari penuaan dini ini.
Kuketuk pintunya. "Assalamu'alaykum Kak, hari ini mau setor nggak?", tanyaku pelan.
"Wa'alaykumussalam. Mal, nggak dulu ya. Aku besok mau ujian, lagian hari ini juga belum sempet ngafal nih", jawabnya singkat.
Target yang tadinya sehari satu halaman, kini mulai berkurang menjadi sehari setengah halaman, sehari seperempat halaman, sehari seayat, atau parahnya, sehari tanpa ayat. Miris. Susah betul ternyata istiqamah di sela-sela kuliah. Kami pun mulai terbiasa memaafkan diri untuk tidak saling setor, karna beban kuliah yang terasa semakin berat. Astaghfirullah.
Hingga akhirnya, teman lain menawarkan program sekolah tahfidz Quran atau yang dikenal dengan nama Dauroh Quran, untuk mengisi waktu selama liburan. Ada banyak pilihan, mulai dari Solo, Kendal, Kuningan, Depok, hingga Jakarta. Setelah menimbang beberapa hal, akhirnya aku memutuskan untuk mendaftar program menghafal 1 bulan di Kendal, yaitu di Yayasan Ahlul Quran Al-Islamy. Program yang dijalankan adalah mampu menghafal 15 juz dalam sebulan, atau dengan kata lain khatam dalam 2 bulan.
Jiwaku mantap. Sudah tidak sabar merasakan debut menjadi anak pesantren selama 19 tahun hidup di alam semesta. Terbayang bagaimana rasanya hati yang tentram dan sejuk karna dekat dengan Al-Quran. Terlebih dikelilingi oleh saudara shalihah yang semakin mendobrak semangat untuk mencintai ayat-ayat Allah. Senyumku lebar saat Ayah, Ibu, dan kedua kakakku mengantar hingga ma'had. Pun ketika mereka meninggalkanku dengan lambaian dari balik jendela mobil dan klakson tanda selamat tinggal, aku masih tersenyum lebar. Bahkan langkah kakiku menuju kamar meyakinkan dan sesekali berayun tanda kebahagiaan sudah di depan mata.
Aku bertemu dengan teman-teman dari seluruh penjuru, mulai dari Aceh, Bontang, Jogja, Semarang, Ngawi, hingga masyarakat lokal dari Kendal yang rumahnya hanya beberapa meter dari tempat kami menginap. Usianya pun beragam, mulai dari anak SD kelas 3, hingga seorang Ibu yang kira-kira sudah berkepala empat.
Hari pertama kami mulai dengan perkenalan diri. Awalnya biasa saja, hingga tiba pada pertanyaan, "Malikah dari pesantren mana?".
"Hehe, belum pernah pesantren sih", jawabku sedikit canggung.
"Oh, tapi udah punya hafalan ya?"
"Umm sedikit"
"Ah aku juga sedikit kok"
"Oh ya? Berapa?"
"Baru 20 juz, hehe", jawabnya singkat dan polos.
Deg. Aku tertegun. 20 juz itu sedikit ya ternyata. Aku mengira definisi sedikit adalah baru 5 juz, 4 juz, 3 juz, 2 juz, atau paling tidak juz amma. Dan keterkejutanku makin bertambah, karna ternyata pertanyaan "dari pesantren mana?" dan "hafal berapa juz?" sudah menjadi pertanyaan wajib yang pasti akan terlontar. Seperti sudah template berkenalan. Dan rata-rata dari mereka mengucapkan bahwa hafalannya baru sedikit. Ya, sedikit, yaitu pada rentang 10-20 juz. Semangatku sedikit terkikis.
Kami tidak diperbolehkan untuk langsung menghafal. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dijalankan setiap peserta. Yang pertama adalah khatam tilawah Quran dalam 1 hari, dan yang kedua adalah menyetor terjemah Al-Baqarah dalam kurun waktu maksimal 4 hari. Untuk syarat pertama, tidak begitu ada masalah, karna kebetulan sekali, aku satu kamar dengan orang-orang ambisius yang pada akhirnya memaksaku untuk mengikuti flow semangat mereka. Di saat yang lain tidur siang atau berbincang sebentar, kami tidak sempat melakukannya. Kami terus tilawah dan alhamdulillah dapat selesai tepat waktu. Pun pada syarat kedua, kami bisa melaluinya dengan lancar dan sukses.
Setelahnya, kami diperbolehkan untuk mulai menghafal. Duhai, senangnya! Ini adalah waktu yang sudah kami tunggu-tunggu kedatangannya. Di dauroh ini, terdapat 5 kali halaqah, dengan durasi per halaqah adalah 2 jam, sehingga total dalam sehari adalah 10 jam menghafal Quran. Targetnya pun tak tanggung-tanggung, yaitu 1 hari menghafal 1/2 juz, atau sekitar 5 lembar mushaf.
Hari pertama menghafal, aku mulai merasakan gejolak dan kesulitan. Karena sebelumnya, belum pernah rasanya menghafal 1 halaman Quran selama 1 jam. Biasanya saja 1 halaman dihafal dalam waktu sehari, itu pun keistiqamahannya diragukan.
Di halaman pertama, bulir-bulir air mata mulai menggenang dan siap untuk terjun bebas ke pipi dan kemudian mulai membasahi kerudung serta mushaf. Mushaf yang tadinya kering, kini menjadi basah dan lembek, sehingga mudah robek di sana sini. Waktu 2 jam yang seharusnya digunakan untuk menyetorkan hafalan, sekarang hanya bisa kuisi dengan tangisan sendu dan jiwa yang ragu. Yuwaswisufii sudurinnas. Aku mulai menanyai hati, kenapa harus datang ke sini. Padahal aku bisa mengisi hari libur dengan hal-hal yang lebih menyenangkan bersama teman lama atau keluarga tercinta. Semangatku habis, tak bersisa.
Selama program hafalan, haram hukumnya menggunakan HP. Kami hanya diberikan kesempatan untuk bermain HP setiap hari Jumat, pukul 8 pagi hingga 3 sore.
Waktu itu hari Senin. Tangisku tak bisa dibendung. Aku ingin pulang. Kuketuk kamar ustadzah. "Afwan Ust, boleh nggak kalau saya pinjem HP, sebentar aja. Mau telfon Ibu sebentar", ucapku dengan mata yang bengkak cukup besar.
"Ini kan baru hari Senin. Tunggu hari Jumat ya", jawabnya singkat.
Aku terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa terucap. Yang ada hanyalah air mata yang semakin mengucur deras.
"Kenapa? Kesulitan menghafal ya?", tanya seorang ustadzah.
Aku masih bungkam. Air mata dan sesenggukan pelan rasanya sudah menjawab semuanya, tanpa harus mengucapkan sepatah kata.
Beliau memberikan beberapa nasehat menghafal Quran, dan menceritakan bahwa beliau pun pernah mengalami hal-hal seperti ini. Ini adalah tahap awal, batu loncatan terbaik menuju menghafal dalam makna harfiah. Jangan ragu untuk menangis, karena menangis itu melembutkan hati. Mungkin saja kesulitan itu datang karena ada dosa yang belum termaafkan, kepada Ibu, Ayah, saudara, atau teman. Bisa juga karena selama ini Al-Quran belum menjadi prioritas utama, terkalahkan oleh hal-hal duniawi, misalnya gadget. Atau bisa juga disebabkan oleh terlalu sayangnya Allah terhadap kita, sehingga Allah turunkan kesulitan dalam menghafal supaya kita semakin intensif berinteraksi dengan Al-Quran. Yakan? Dan juga supaya kita semakin rajin istighfar untuk mencurigai diri yang sudah barang tentu terlampau sering menyumbang dosa di catatan amalan harian. Na'udzubillahimindzalik.
Tangisku agak mereda. Baterai semangat mulai terisi sedikit demi sedikit. Jika ditunjukkan prosentasenya, mungkin sudah sekitar 25%. Alhamdulillah. Aku segera pamit dari ruangan beliau.
Pintaku selalu sama. Kuatkanlah dan mudahkanlah. Beberapa hari kemudian, Allah menjawab doa bagian "kuatkanlah" ini. Berdatangan beberapa peserta dauroh yang baru. Kami berkenalan singkat. Dan qadarullah, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang dengan latar belakang yang sama denganku. Yaitu tidak pernah mengenyam sekolah Islam, dan hafalan yang masih sedikit. Tentu saja sedikit dalam makna sesungguhnya. Semangatku mulai bertambah lagi. Terkadang, dipertemukan dengan orang-orang seperjuangan memang akan menguatkan jiwa. Tidak perlu merasa diri seperti remah-remah lagi. PD aja!
Untuk doa bagian "mudahkanlah", Allah pun tak lama-lama mengabulkannya. Seorang ustadzah tiba-tiba menghampiriku sambil menyodorkan Al-Quran terjemah per kata miliknya. "InsyaaAllah ini bisa membantu. Dulu ustadzah pakai ini juga".
Sedangkan ustadzah yang lain menuturkan, "Kalau Malikah kesulitan, boleh setor satu kali duduk setengah halaman aja, nggak harus satu halaman. Bismillah dikit-dikit, insyaaAllah lama-lama terbiasa kok".
"Oh ya, kalau misal masih kesulitan, boleh juga memisahkan diri ketika menghafal. Pasti nggak fokus ya denger yang lain ngafalin juga", tambahnya kemudian.
Benar saja, aku selalu menghafal di tepi kolam lele, yang letaknya sekitar 8 meter dari teman-teman lain. Suasananya syahdu, sehingga lebih mudah untuk mengaitkan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain.
Dan ya, alhamdulillah semuanya dimudahkan hingga hari terakhir. Tangis berubah menjadi senyum dan canda tawa. Bahkan, di sana kami belajar memanah setiap sore, berdiskusi singkat terkait Islam, serta berbagi cerita masing-masing di sela-sela sebelum tidur. Banyak ilmu dan pengalaman yang aku dapat dari mereka. Rasanya sudah seperti keluarga sendiri.
MasyaaAllah. Allah memang teramat baik ya!
Sabtu, 4 Agustus 2018, aku pamit pulang. Ketika Ayah dan Ibu sampai di gerbang ma'had, aku langsung memeluknya erat, seperti anak kecil yang sudah berbulan-bulan tidak bertemu orang tuanya. Seketika aku menangis sesenggukan. Mereka tertawa. Ah, aku tidak pernah serindu ini sebelumnya.
Pulang, bukan berarti berhenti untuk menghafal. Ini adalah awal dari semuanya. Justru di sinilah tantangan terberatnya. Muraja'ah!
Seorang teman berpesan, "Karena menghafal Quran adalah pilihan, maka muraja'ah adalah konsekuensi seumur hidup"
Yuk ngafal!
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:
"Bacalah Al Quran, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa'at bagi shahibul Quran" (Hadist Riwayat Muslim)
Yuk ngafal!
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:
"Bacalah Al Quran, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa'at bagi shahibul Quran" (Hadist Riwayat Muslim)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar