"Allahu Akbar Allahu Akbar..."
Lantunan adzan membangunkanku dari tidur panjang sepanjang malam, bersamaan dengan dering alarm yang menyela gemericik gerimis air di Bandung pagi itu. Kubuka mata perlahan. Kulihat sekeliling kamar yang cukup gelap karena hanya diterangi oleh sinar lampu tidur berwarna kuning. Sesekali aku memejamkan mata lagi. Dingin, seolah seluruh anggota tubuh ini telah membeku, sehingga mereka menolak untuk bergerak. Bahkan untuk membuka selimut saja terasa berat, apalagi mengangkat seonggok tubuh ini untuk mengambil air wudhu dan menunaikan kewajiban pagi itu.
"5 menit lagi ya Mal", kataku pada diri sendiri, sambil kemudian memejamkan mata kembali.
Hal ini berlangsung tidak hanya pada waktu Subuh, namun juga di waktu-waktu yang lain.
Misalnya, pada suatu sore di hari Rabu. Jadwal praktikum hari itu memang tidak tanggung-tanggung. Mulai jam 9 pagi, dan baru berakhir pukul 5 sore. Setelah semua run percobaan selesai, aku dengan tergesa mengemasi barang-barang, dan segera berlari menuju mushola di lantai 3. Antrian wudhu berderet panjang. Bahkan belasan menit setelah salam, adzan Maghrib mulai berkumandang. Astaghfirullahal 'adzim.
Terkadang, kegiatan rapat di kampus pun menabrak waktu Isya' dan baru selesai tengah malam, sehingga dengan mudah aku memaafkan diri sendiri. Lagipula rentang waktu Isya' cukup panjang, begitu pikirku waktu itu.
Namun, tetap saja aku gelisah. Sudah shalat ditunda-tunda, dijalankan di akhir waktu, bahkan seringkali dilaksanakan munfarid. Terlebih anak kos sepertiku, rasanya sudah biasa shalat sendiri-sendiri, di kamar masing-masing. Padahal shalat di awal waktu dan berjamaah sangat besar keutamaannya.
Kata orang bijak, sampaikan gelisahmu bukan pada manusia, tapi kepada Allah Yang Maha Mendengar. Sampaikan keluh kesahmu pada-Nya, karena itulah jalan keluar terbaik yang pernah ada. Karena aku tidak pandai berdoa menggunakan bahasa arab, kusampaikan cerita dan panjatan doaku dengan bahasa lugas dan apa adanya.
Hingga suatu hari yang mendung, sekelompok teman kos, bernama Kak Dita, kak Laili, dan kak Kamila, tiba-tiba mengatakan suatu hal terkait kegelisahanku.
"Mal, kalau mau shalat jamaah, langsung ke kamar Kak Dita aja ya."
Ini benar-benar jawaban doa yang tidak pernah kusangka-sangka sebelumnya. MasyaaAllah.
"Oke! Nanti kita gantian jadi imam ya, Kak!", kataku mantap dan bersemangat.
Ya, itulah permulaan cerita kami. Paling tidak, sejak saat itu, aku bisa shalat Subuh, Maghrib, dan Isya' secara berjamaah, meskipun terkadang kami masih beberapa kali menundanya.
Berbagai alasan seperti: "10 menit lagi ya, Mal! Aku masih ngerjain tugas, nanggung nih", "Kak, aku makan bentar ya hehe", atau "Maafin baru bangun". Saat itu, kami masih bisa memaklumi.
Namun, ternyata kejutan Allah tidak berakhir di situ. Seseorang di lantai 1, bernama Kak Hilma, menghampiriku di Minggu pagi setelah aku selesai berbelanja sayur mayur dan buah-buahan di Pasar Simpang Dago.
"Malikah, aku sering denger kalian shalat berjama'ah. Ajakin aku juga dong, aku kan juga pengen dapet pahala banyak kayak kalian".
Aku senang sekali mendengarnya. Namun, kamar Kak Dita hanya cukup untuk membuat satu shaf sebanyak 4 orang, karena terhalang oleh lemari dan kasur yang cukup besar. Tidak ada ruang lagi di kamar ini.
Setelah cukup lama berpikir dan mengeksplor ruangan kosan yang sekiranya bisa dijadikan mushola, akhirnya kami mendapati ruangan TV yang kira-kira cukup untuk melaksanakan shalat sebanyak 8 orang.
Suara imam shalat terdengar hingga seluruh penjuru kosan. Tak heran, terkadang satu hingga tiga orang teman lainnya tiba-tiba ikut bergabung. Alhamdulillah jama'ah semakin ramai setiap harinya.
Setelah berbincang satu sama lain, ternyata keinginan untuk shalat berjama'ah sudah ada sejak lama. Namun, karena tidak ada yang memulai sebelumnya, jadilah keinginan hanya menjadi keinginan belaka selama-lamanya, sampai akhirnya kami dipertemukan di ruangan mungil ini, dalam rangka merealisasi keinginan yang tadinya terpendam di lubuk hati terdalam.
Sama seperti sebelumnya, kami masih belum istiqamah. Masih perlu menghubungi via whatsapp supaya shalat berjamaah bisa dilaksanakan. Pertanyaan seperti: Ada yang mau shalat jamaah?; menjadi pertanyaan rutin kami setiap harinya. Jika tidak ada jawaban, maka dengan terpaksa kulaksanakan shalat sendirian.
Aku percaya, istiqamah itu butuh proses. Dan benar saja, shalat jama'ah yang tadinya masih terkadang ada dan terkadang tidak, lambat laun makin meyakinkan. Hanya dengan gaungan adzan di udara, tanpa harus memanggil-manggil di grup kos, dengan sendirinya masing-masing kami melangkahkan kaki menuju mushola. Bahkan saat itu, ada seorang volunteer yang menawarkan diri untuk menjadi relawan pejuang ketukan pintu di sepertiga malam, bagi mereka yang ingin melaksanakan shalat sunnah tahajjud. Terlebih, setiap Senin dan Kamis, ada ketukan pintu lebih pagi, bagi mereka yang ingin bergabung makan sahur bersama. Suara air mendidih serta gesekan wajan menjadi suasana dapur yang khas setiap Senin Kamis.
"Eh, gimana kalau yang jadi imam yang terakhir dateng ke mushola?", kata seseorang di tengah-tengah suasana sahur bersama.
"Boleh tuh, biar nggak pada nunda-nunda juga kan..."
Dan ya, kami mencoba metode ini. Awalnya cukup gagal, karena diam-diam kami saling mengintip dari balik jendela setiap waktu shalat datang.
"Wah kayaknya aku terakhir nih. Yaudah deh shalat sendirian aja di kamar, daripada jadi imam", begitu pemikiran masing-masing dari kami. Rupanya hukuman menjadi imam sukses menakut-nakuti.
Alhasil, satu hingga dua orang yang biasanya ada, tiba-tiba tiada kemunculannya di mushola. Namun ini tidak berlangsung lama. Kami mulai paham, bahwa urgensi shalat berjamaah cukup besar. Menjadi imam pun bukan suatu yang harus dipermasalahkan, justru di situlah kami belajar. Toh nantinya, jika suatu saat kita sudah berkeluarga, kita harus siap kapanpun menjadi imam shalat bagi anak-anak di kala suami tercinta harus menunaikannya di masjid.
Demi menghindari hukuman menjadi imam shalat, banyak yang memilih untuk berdiam diri di mushola di waktu pergantian Maghrib ke Isya'. Dan bahkan lucunya, ketika muadzin baru mengetuk microfon untuk mengetes suaranya, langkah kaki menuju mushola sudah ramai terdengar. Subuh yang tadinya tenang, kini menjadi suatu pagi yang ramai. Pun pada waktu Dzuhur hingga Isya'.
Tak jarang kami mengobrol singkat selepas shalat. Lagipula, salah satu dari kami ada seorang alumni Psikologi Unpad, sehingga curahan hati kami tersampaikan dan ditemukan solusinya. Kadang-kadang, obrolan kami disponsori oleh penghuni kos yang baru pulang dari kampung halaman dan membawa pempek asli Palembang, atau ia yang masaknya berlebih, sehingga butuh bantuan untuk menghabiskan. Alhamdulilah, rezeki Allah datang dari arah yang tidak disangka-sangka.
Yang lebih mengejutkan, ruangan TV kadang tidak mampu lagi menampung kami. Kami terpaksa ekspansi wilayah ke ruang tamu supaya semua orang bisa mendapatkan pahala jama'ah ini. Bahkan, ketika aku berkenalan dengan kakak-kakak S2 di organisasi Keluarga Mahasiswa Islam (KAMIL) Pascasarjana ITB, banyak yang sudah mengenal kosan ini.
"Oh, kos Rambutan, yang ada kegiatan shalat berjama'ahnya itu kan?"
"Oh, kosan yang penghuninya shalihah itu ya"
Wkwk, ada-ada saja.
Kalau kata Teh Dali yang merupakan lulusan Psikologi Unpad dan sudah menjadi penghuni tetap kosan sejak beliau kuliah dulu, "Kosan ini berada pada puncak kejayaan Islam. Dulu tuh, ruangan TV biasanya dipakai buat nonton film sampai malem, bahkan kadang-kadang ada yang ngajak cowo ke sini sampai larut. Pokoknya berisik dan nggak banget deh."
Alhamdulillah.
Semua dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana, hingga akhirnya berproses menjadi besar. Sebagai calon lulusan Teknik Kimia yang notabene akan menjadi Insinyur Proses, aku jadi makin yakin bahwa tidak ada yang instan di dunia ini. Bahkan, mie instan masih perlu diproses untuk kemudian dikonsumsi. Sekiranya saat ini kamu berada pada titik, "Ih aku juga pengen shalat berjama'ah", coba deh mulai dari lingkaran-lingkaran kecil. Bismillah, insyaaAllah lingkaran itu akan semakin besar dan menjadi ukhuwah. Semangat!
Tidak ada komentar :
Posting Komentar